tentang si penulis

My photo
Bandung, Bandung, Indonesia
Seseorang yang sedang menempuh kehidupan di dunia arsitektural,khususnya ITB. Saat ini sedang menjalani kehidupan pasca tingkat 2 arsitektur dan sedang disibukkan persiapan untuk 'menyambut' adik2 2008 ke dalam wadah bernama IMA Gunadharma.

Tuesday, March 18, 2008

A Memoir of An Unexpected Boy, Who Lived...

Setiap orang mempunyai catatan hidupnya masing-masing. Senang, susah, gembira, bahagia, apapun itu namanya. Jika semua itu dirangkum menjadi satu, maka akan menjadi suatu kisah yang membahagiakan, atau mungkin tidak. Tapi dari setiap kisah itulah muncul berbagai hal dan keunikan, yang menjadikan setiap kisah lain dari yang lain. Autentik, serta orisinil.

Tidak, aku tidak akan membahas orang lain. Aku sudah cukup lelah menjadi pengamat. Aku lelah menjadi pemandu sorak. Aku yang hanya bisa menjadi figuran dalam setiap kesempatan. Dan aku yang hanya merupakan angin lalu bagi sebagian besar orang.

Inilah kisahku…


This thought….

Mungkin tak pernah terlintas di benakku bahwa aku akan menjadi diriku yang sekarang. Mungkin juga tak akan terbayang bagaimana nantinya diriku di masa depan. Yang kutahu, diriku yang sekarang adalah pribadi yang terbentuk dari hasil tempaan di masa lalu, yang telah melalui berbagai proses dalam hidup, dan mengalami sekelumit permasalahan dan persoalan.

Setiap kali diriku berkaca, aku akan bertanya pada sang cermin, “Siapakah aku?” Dan tak satupun jawaban muncul. Hingga saat ini aku masih bingung siapakah diriku yang sebenarnya.

Jika aku melihat berbagai orang sukses, aku merasa bahwa kerja keraslah yang membuat mereka menjadi demikian. Dan karena itu aku bersedia bekerja keras. Mungkin tak sekeras mereka, aku akui bahwa diriku ini lemah. Namun aku juga bekerja cukup keras. Namun hasilnya? Tidak ada.

Aku mengamati bahwa mungkin aku bisa dikenal orang jika aku lebih ceria, menjadi orang yang bersedia membantu di setiap saat. Murah senyum. Ternyata cara ini pun tak berhasil. Oleh orang yang kubantu aku dianggap aneh, tak jarang seringkali dianggap terlalu ingin ikut campur. Padahal aku hanya ingin membantu, tapi ternyata tidak demikian anggapan orang-orang. Dan cara ini kunyatakan gagal, setelah bukannya menambah teman, malahan aku dianggap aneh dan mulai dijauhi.

Cara paling mudah tentunya mendekati teman-teman sekolahku. Ya, mereka yang telah merasakan susah dan senangnya bersama selama menjalani masa sekolah. Meskipun mereka bukan sahabat atau saudara, tapi aku percaya bahwa merekalah teman terbaikku. Dan pada mereka aku bisa percaya bahwa aku masih memiliki teman. Namun tentu saja tidak selamanya demikian. Saat ini mereka telah memiliki hidupnya masing-masing. Ada yang sudah berpacaran dan sering meninggalkan kami. Sementara ada yang sibuk dengan berbagai kegiatan hingga kami jarang menjumpainya lagi. Yang lainnya pun sibuk sendiri dengan teman-teman baru mereka. Bermain atau belajar, yang pasti tanpa diriku.

Dan lagi-lagi aku ditinggalkan sendiri.
Mungkin kalian menganggapku seorang pecundang, dan memang demikian banyak pendapat terlontar padaku.

“Baru segini aja udah nyerah?”
“Cupu lo.”
“Lo siapa?”
“Awas jangan ngganggu!”
“..............”

Dan berbagai hal serupa.

Aku tidak mengerti, mengapa demikian. Aku hanyalah seseorang yang biasa, yang menjalani hidup dengan biasa. Aku bisa bermain alat musik, namun selalu terlibas oleh mereka yang dianggap lebih mahir dariku. Untuk olahraga aku tak terlalu mahir, cenderung bodoh karena pengalaman traumatis waktu SD. Mungkin tampangku juga tidak menjanjikan, dan juga aku terlalu perhitungan dalam hal pengeluaran. Mungkin mereka menganggapku pelit, namun aku hanya ingin dapat mengurangi pengeluaranku sehingga orangtuaku tidak perlu menanggun biaya lebih berat lagi. Memang aku sulit bergaul dengan orang baru, dan aku sadar itu terjadi karena sifat takut salahku yang begitu besar. Setiap kali aku akan bergerak, bayangan itu akan terus menghantuiku, sehingga aku akhirny memutuskan mundur dan menyerah.

Dan yang dapat kulakukan hanya menulis.

Ya, karena aku tidak memiliki siapapun untuk dapat bercerita. Mungkin orangtuaku mau mendengarkan, tapi aku rasa tidak perlu kurepotkan mereka dengan permasalahanku. Sahabatpun aku tak punya.

Mungkin benar pendapat temanku. Aku orang yang ANTI SOSIAL.

Padahal seingatku dulu aku mudah bergaul. Aku orang yang mudah akrab, bahkan dengan orang asing sekalipun. Teman-temanku pun banyak, dan tidak hanya itu, semasa sekolah pun aku akrab dengan guru-guruku.

Dan aku ingat, bahwa ini semua mulai berubah begitu aku menjejakkan kaki di SMA. Dan mulai saat itu aku seperti orang yang baru.

ORANG ANEH. Bahkan diriku sendiri tidak mengenali lagi siapa diriku sebenarnya. Jati diriku seperti tertutup, dan seolah-olah diriku yang tampak sekarang ini hanyalah samaran untuk menutupi diriku yang sebenarnya.

Hanya ada satu alasan.

TAKUT.

Aku terlalu takut untuk jujur.
Aku terlalu takut untuk mengungkap diriku yang sebenarnya kepada mereka semua, semua orang. Aku terlalu takut untuk gagal, karena begitu banyak kegagalan yang kualami.

Aku tidak dapat menyalahkan orang lain karena ini adalah hidupku,dan aku telah memutuskan untuk bertindak demikian. Namun seandainya masih dapat diubah, maka aku berharap diriku dapat berubah dan dapat menemukan siapa diriku sebenarnya.

Aku hanya berharap di luar sana masih ada arti hidup bagiku, dan masih ada seseorang yang mau membantuku untuk menyadarkan diriku bahwa bukan inilah diriku. Bahwa aku perlu jujur terhadap diriku sendiri.

Dan yang perlu kalian tahu.

Bahwa pribadiku yang ceria, riang, ceplas-ceplos, suka marah, dan berbagai karakter diriku yang tampak selama ini hanyalah palsu. Mungkin bisa dianggap dialah diriku yang lain yang kugunakan untuk menjalani kehidupan sosial.

Diriku yang asli?

Inilah diriku, yang hanya dapat menulis, berpikir, egosentris, dan tidak memiliki siapa-siapa, bahkan aku hampir percaya bahwa Tuhanpun kecewa melihat hidupku yang seperti ini dan tidak bermanfaat. Yang hanya bisa diam, merenungi kekurangan, menyesali diri terus menerus, dan selalu berada di bawah dan terinjak-injak oleh perputaran hidup di dunia ini.

Namun inilah aku.

Dan kisahku ini hanyalah bagian kecil dari berbagai refleksi kehidupan yang akan kutorehkan hingga akhir hayatku.

Dan entah kenapa akhirnya aku berani untuk kembali mulai menulis, dan mulai merasa sedikit kelegaan, meskipun pada akhirnya aku tahu tulisan tidak dapat bersuara, dan ini hanyalah urusan antara diriku dan tulisan ini saja.

*catatan ini ditulis pada suatu malam yang mendung. Tiba-tiba saja aku ingin menulis setelah tadi siang aku berjalan sendirian menyusuri besarnya kampusku, dan membiarkan indera-inderaku didera berbagai perasaan yang menyakitkan sekaligus mengagumkan.